Kitab Sutasoma Dan Kitab Negarakertagama
Sejarah Kitab Sutasoma
Kitab Sutasoma mencatat perjalanan hidup Sutasoma, seorang anak raja yang memilih keluar dari kerajaan untuk belajar menjadi pendeta Buddha. Dalam kitab ini juga terdapat asal muasal dari semboyan negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Kitab Sutasoma, juga dikenal sebagai Kakawin Sutasoma, merupakan karya sastra yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad ke-14 Masehi. Kitab ini tergolong dalam kakawin, istilah untuk tembang atau syair dalam bahasa Jawa Kuno yang iramanya didasarkan pada irama dari India. Meskipun demikian, isi dari ini memiliki makna yang mendalam dan sarat akan pesan-pesan moral.
Kitab Sutasoma mengisahkan perjalanan hidup Pangeran Sutasoma, seorang anak raja yang memilih untuk meninggalkan kerajaannya demi belajar menjadi seorang pendeta Buddha.
Dalam perjalanannya, Sutasoma menghadapi berbagai cobaan dan godaan yang menguji keberanian dan ketabahannya. Salah satu bagian penting dari kisah ini adalah ketika Sutasoma menawarkan diri untuk menjadi santapan Batara Kala sebagai ganti atas 100 raja yang ditawan oleh Purusada. Tindakan luar biasa ini menggambarkan keteguhan tekad dan pengorbanan yang tinggi .
Selain kisah perjalanan Sutasoma, juga mengajarkan nilai-nilai toleransi antar umat beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha. Pesan tentang pentingnya toleransi dan persatuan di tengah perbedaan ini sangat relevan hingga saat ini. Bahkan, semboyan negara Kesatuan Republik Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, berasal dari kitab ini, yang menggambarkan semangat persatuan dalam keberagaman .
Menyiratkan pesan mendalam tentang keseimbangan antara keberanian dan belas kasih. Sikap tegas Sutasoma terhadap tawaran menjadi santapan Bataca Kala, demi kebebasan tawanan, menggambarkan keberanian dan pengorbanan yang terkandung dalam ajaran Buddha.
Perjuangan Sutasoma melawan caksa, makhluk gaib, dan kesulitan lainnya menciptakan narasi yang sarat dengan nilai-nilai keberanian dan ketaqwaan. Setiap ujian dihadapi dengan tekad dan keyakinan pada ajaran spiritualnya.
Kisah Pucusada, yang bertubat dan diberikan pengampunan setelah melibatkan diri dalam praktik kejam, menggambarkan kebijaksanaan dan kekuatan pengampunan. Hal ini menegaskan pentingnya perdamaian dan transformasi pribadi.
Kitab Sutasoma bukan sekadar kisah epik, melainkan karya sastra yang sarat makna. Setiap episode dan tindakan Sutasoma mengandung ajaran moral, spiritual, dan filosofis yang mendalam.
Sonora.ID - Berikut adalah penjelasan mengenai pengarang dan isi Kitab Sutasoma, lengkap dengan penjelasan soal 'Bhinneka Tunggal Ika' yang berasal darinya.
Kitab Sutasoma merupakan salah satu karya sastra klasik yang memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi sastra Jawa.
Kitab ini ditulis oleh seorang pujangga terkenal pada masanya bernama Mpu Tantular. Karya yang ditulis dalam bentuk syair ini mengisahkan perjalanan seorang pangeran bernama Sutasoma dalam menghadapi cobaan dan tantangan kehidupan.
Isi Kitab Sutasoma secara umum mencerminkan nilai-nilai kebijaksanaan, ketekunan, dan keberanian dalam menghadapi konflik batin dan luar.
Cerita tersebut juga menggambarkan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dikenal sebagai semboyan kebhinekaan Indonesia.
Konsep ini mengajarkan bahwa meski berbeda-beda, kita tetap satu dalam persatuan.
Pada intinya, Kitab Sutasoma mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual yang relevan hingga saat ini.
Dalam perjalanan Sutasoma, pembaca akan memperoleh hikmah tentang pentingnya menjaga kesucian hati, menjauhi godaan kejahatan, serta mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi terhadap perbedaan.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Tarumanegara: dari Berdiri hingga Masa Keruntuhan
Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang Kitab Sutasoma, termasuk latar belakang pengarangnya, isi ceritanya yang penuh makna, serta pesan-pesan universal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
13 Desember 2024 18:57 WIB
13 Desember 2024 18:20 WIB
13 Desember 2024 18:15 WIB
13 Desember 2024 18:02 WIB
Suara.com - Salah satu bentuk kecintaan kita kepada negara, dapat ditunjukkan melalui mempelajari sejarah bangsa dan negara kita. Salah satu bukti peninggalan sejarah yang perlu untuk ditauladani adalah Kitab Sutasoma. Nah, seperti apa sejarah Kitab Sutasoma itu sendiri?
Kitab Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang dikarang oleh seorang sastrawan bernama Mpu Tantular pada abad ke-14. Ingin tahu lebih jauh tentang isi dan sejarah Kitab Sutasoma?
Simak ulasan di bawah! Berikut adalah ulasan tentang sejarah dan makna yang terkandung dalam Kitab Sutasoma.
Sejarah Kitab Sutasoma
Baca Juga: Sosok Ashin Jinarakkhita, Biksu Buddha Pertama di Indonesia
Kitab Sutasoma menjadi sebuah karya sastra yang ditulis pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk memimpin.
Diperikaran ‘Kakawin Sutasoma’ atau Kitab Sutasoma ditulis Mpu Tantular antara tahun 165 dan 1389. Karya ini berisikan tentang kehidupan sang Pangeran Sutasoma yang dimana dalam setiap bait yang dituliskannya juga mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan seperti toleransi beragama, terlebih antara Buddha dan Hindu.
Naskah kitab yang dituliskan menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa kuno. Kitab Sutasoma dibuat dengan bahan dasar daun lontar, dengan ukuran 40,5 x 3,5 cm.
Kitab Sutasoma tersusun dari 1.210 bait dalam 148 pupuh. Sutasoma berusia lebih muda satu tahun dibanding dengan Kitab Negarakertagama yang penulisannya selesai pada tahun 1365.
Baca Juga: Geger Tukang Pasir Temukan Mahkota Kerajaan Majapahit Seberat 2 Kilogram
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap kitab kuno pasti berisikan tentang perjalanan hidup seorang tokoh yang nantinya dapat ditauladani oleh para generasi penerusnya, begitu pula dengan Kitab Sutasoma. Kitab Sutasoma menceritakan tentang usaha Pangeran Sutasoma yang menjalani kehidupannya sebagai titisan Sang Hyang Buddha dalam menegakkan dharma.
Sutasoma merupakan sorang putra dari Prabu Mahaketu, raja kerajaan Astina. Dalam perjalanan hidupnya ia lebih tertarik untuk memperdalam ajaran Buddha dibandingkan harus mengemban tugas sebagai penerus ayahnya untuk menjadi raja, tibalah malam dimana sang pangeran memtuskan untuk melakukan semedi pada pegunungan Himalaya.
Selama ia menjani pencarian jati dirinya tersebut Sutasoma kerap kali dihadapapkan pada beberapa ujian, seperti melawan raksasa dengan kepala gajah, raksasa pemakan daging manusia, ular naga, harimau betina. Beberapa kejadian tersebut merupakan ujian yang harus dilalui oleh sang pangeran untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Perjalanan terus berlanjut sampai Sutasoma bertemu dengan sepupunya yang bernama Prabu Dasabahu yang sedang berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada. Pasukan Prabu Kalmasapada kalah dan meminta pertolongan kepada Sutasoma.
Menyadari bahwa yang dilawan Prabu Dasabahu adalah sang sepupu membuatnya untuk mengurungkan niat perang. Ia justru membawa Pengeran Sutasoma untuk diajak ke negerinya dan dijadikan sebagai ipar. Saat kembali ke Astina, Sutasoma diberikan gelar raja dengan gelar Prabu Sutasoma.
Rwaneka dhatu winuwusBuddha WiswaBhinnêki rakwa ring apan kena parwanosenMangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggalBhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Bait di atas merupakan kutipan dalam Kitab Kakawin Sutasoma tepatnya pada pupuh 139 bait 5. Kata-kata tersebutlah yang juga digunakan oleh pendiri bangs akita dalam merumuskan semboyan negara yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.
Bait tersebut menceritakan bahwa perbedaan yang terjadi antara Buddha dan Siwa bukanlah sebuah halangan untuk tetap saling mengasihi. Sedangkan kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal.
Maka jika diartikan secara setiap kata akan muncul makna "Bhinneka" yang bermakna ragam dan ika bermakna satu, kemudian jika digabungkan akan muncul makna meskipun berbeda-beda namun tetap satu.
Demikian adalah ulasan tentang sejarah dan makna yang terkandung di dalam kita Sutasoma, semoga bermanfaat.
Kontributor : Dhea Alif Fatikha
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Kitab Sutasoma merupakan salah satu karya sastra peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit yang dikarang oleh Empu Tantular. Kitab ini terbuat dari daun lontar dan ditulis dengan menggunakan aksara Bali.